“Dalam fiqih, bahkan masjid yang dibangun di bantaran sungai pun wajib dibongkar, apalagi sekadar pagar laut.”
Kasus pagar laut di lepas pantai Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu cukup menghebohkan publik. Pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer membentang di perairan Kabupaten Tangerang, menyulitkan nelayan dalam mencari ikan karena mereka harus memutar jauh untuk menghindarinya.
Setelah diselidiki, pagar laut tersebut dinyatakan ilegal berdasarkan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Pagar laut terletak di Zona Perikanan Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur oleh Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2023.
Dari kasus pagar laut ini, ditemukan adanya 263 SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan 17 SHM (Sertifikat Hak Milik) di sekitarnya.
Kepemilikan Laut dalam Perspektif Hukum Fiqih: Apakah Laut Bisa Dimiliki?
Munas Alim Ulama NU pada 5-7 2025 telah membahas topik penting mengenai kepemilikan laut dalam perspektif hukum fiqih. Beberapa pertanyaan yang dibahas adalah:
- Apakah laut dapat dimiliki oleh individu atau korporasi?
- Bolehkah negara menerbitkan sertifikat kepemilikan laut kepada individu atau korporasi? Pada dasarnya, pemanfaatan laut adalah hak bagi siapa saja, tanpa memandang status sosial. Baik orang kaya, miskin, rakyat biasa, pengusaha, hingga pejabat, semua berhak mengakses dan memanfaatkan laut tersebut. Sebagai contoh, laut di perairan Kabupaten Tangerang yang kini dipagar dengan pagar laut, seharusnya tetap menjadi akses terbuka bagi semua orang.
Dalil Kebebasan Pemanfaatan Laut dalam Islam
Dalil kebebasan pemanfaatan laut ini tercermin dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad dan juga Ibnu Majah dalam Sunan:
النَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاء ، وَالنَّارِ وَالْكَلَأِ
Artinya, “Manusia bersekutu atau sama-sama berhak dalam tiga hal: air, api, dan rerumputan.” (Al-Mawardi, Al-Hawi, [Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1994], juz VII, halaman 508).
Dalam penjelasannya, Al-Mawardi menyatakan bahwa air laut, sungai besar seperti Sungai Dijlah, Sungai Efrat, dan Sungai Nil, serta mata air yang mengalir di area bumi, semuanya bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja.
Laut dan Sungai sebagai Hak Publik dalam Fiqih
Dalam fiqih, laut dan sungai merupakan bagian dari hak publik yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu, karena hal itu akan membatasi hak orang lain untuk memanfaatkannya.
Contoh dalam kasus sungai yang surut airnya. Meskipun air sungai surut, statusnya sebagai hak publik tetap berlaku. Pemerintah tidak boleh memberikan hak milik atas tanah tersebut kepada individu, karena air tersebut bisa kembali kapan saja. Sulaiman Al-Bujairami menjelaskan:
لَوِ انْحَسَرَ مَاءُ النَّهْرِ عَنْ جَانِبٍ مِنْ أَرْضِهِ وَصَارَتْ مَكْشُوفَةً لَمْ تَخْرُجْ عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ مِنْ كُونِهَا مِنْ حُقُوقِ النَّهْرِ مُسْتَحَقَّةً لِعُمُومِ الْمُسْلِمِينَ، وَلَيْسَ لِلْسُلْطَانِ تَمْلِيكُهَا لِأَحَدٍ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَهُ تَمْلِيكُ شَيْءٍ مِنَ النَّهْرِ أَوْ حَرِيمِهِ وَإِنِ انْكشَفَ عَنْهُ، لِأَنَّهُ لَا يَخْرُجُ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ بِانْكَشَافِ الْمَاءِ عَنْهُ
Artinya, “Andai air sungai surut dari sebagian tanahnya dan menjadi terbuka, maka tanah tersebut tetap merupakan hak sungai yang menjadi hak bagi seluruh umat Islam, dan bukan hak sultan untuk memilikinya. Karena itu, tidak diperbolehkan bagi sultan untuk memberikan kepemilikan atas sesuatu dari sungai atau kawasan sekitarnya, meskipun airnya telah surut, karena tanah tersebut tidak berubah dari status semula dengan surutnya air.” (Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhi Manhajit Thulab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2017], juz III, halaman 202).
Demikian pula status laut yang airnya surut, tetap merupakan hak publik dan tidak dapat dimiliki oleh siapa pun. Sebagian ulama berpendapat bahwa laut yang surut bisa menjadi hak masyarakat sekitar, namun pendapat ini ditentang keras oleh ulama lain yang menegaskan bahwa surutnya air tidak mengubah statusnya sebagai hak publik secara luas.
وَبَالَغَ فِي إِنْكَارِ مَا نُقِلَ لَهُ عَنْ بَعْضِهِمْ مِنْ أَنَّ الْبَحْرَ لَوِ انْحَسَرَ عَنْ أَرْضٍ بِجَانِبِ قَرْيَةٍ اسْتَحَقَّهَا أَهْلُ الْقَرْيَةِ
Artinya, “Imam Ar-Ramli sangat mengingkari pendapat yang dinukilkan kepadanya dari sebagian ulama, bahwa jika laut surut dari suatu tanah di tepi sebuah desa, maka tanah tersebut menjadi hak milik penduduk desa tersebut.” (Al-Bujairimi, III/202).
Mengatasi Penguasaan Laut oleh Kelompok Tertentu
Jika laut atau sungai yang merupakan hak publik dikuasai oleh individu atau kelompok, dan menghalangi akses orang lain, hal tersebut tidak dibenarkan dan harus segera dicabut. Pemanfaatan laut dan sungai harus sesuai dengan peruntukannya. Bahkan, jika ada bangunan yang dibangun di sana, seperti masjid di bantaran sungai, bangunan tersebut harus dirobohkan.
وَحَرِيمُ النَّهْرِ كَالْنِيلِ مَا تَمَسُّ الْحَاجَةُ لَهُ لِتَمَامِ الْإِنْتِفَاعِ بِهِ وَمَا يَحْتَاجُ لِإِلْقَاءِ مَا يَخْرُجُ مِنهُ فِيهِ لَوْ أُرِيدَ تَنْظِيفُهُ فَيَمْتَنِعُ الْبِنَاءُ فِيهِ وَلَوْ مَسْجِدًا وَيُهْدَمُ مَا يُبْنَى فِيهِ كَمَا نُقِلَ عَنْ إِجْمَاعِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
Artinya, “Kawasan sekitar sungai (lahan pelindung sungai), seperti halnya Nil, untuk pemanfaatan sungai secara maksimal, termasuk tempat pembuangan material yang dikeluarkan dari sungai jika ingin dibersihkan. Karena itu, pembangunan di area tersebut dilarang, termasuk membangun masjid. Bangunan yang dibangun di dalamnya harus dihancurkan, sebagaimana yang disampaikan dari ijma’ (kesepakatan) para imam empat.” (Al-Bujairimi).
Laut Sebagai Ruang Publik yang Harus Dijaga
Dalam fiqih, ruang publik seperti laut dan sungai wajib dijaga kelestarian dan fungsinya. Pemanfaatannya harus sesuai peruntukan dan tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok. Hak publik untuk mengakses dan memanfaatkannya harus tetap dilindungi.
Kasus pagar laut di Tangerang menunjukkan pentingnya menjaga laut sebagai kawasan bebas dan tidak boleh dikuasai oleh pihak tertentu. Dalam fiqih, bahkan masjid yang dibangun di bantaran sungai harus dibongkar, apalagi pagar laut. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah. Selama Ramadhan 2025, NU Online menghadirkan serial artikel yang mengulas secara mendalam isu-isu strategis tersebut dari perspektif fiqih dan kemaslahatan rakyat. Seluruh artikel pada serial ini ditulis oleh Kiai Ahmad Muntaha, ulama muda asal Magelang yang juga Redaktur Keislaman NU Online. (NU online)