Dua Tokoh Berjasa Dibalik Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia

Dua Tokoh Berjasa Dibalik Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia

Tahun Baru Imlek selalu dirayakan secara meriah oleh warga etnis Tionghoa di Indonesia dengan sejumlah tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Banyak warga Tionghoa meyakini kalau tradisi perayaan Imlek yang mereka lakukan dapat mendatangkan kemakmuran.

Kemeriahaan perayaan Imlek ini juga di warnai dihampir setiap sudut kota dipenuhi dengan berbagai ornamen yang identik dengan warna serba merah.

Geliat kemeriahan perayaan Imlek ini terlihat sejak dan dari masa Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada 2000 lalu. Kala itu Presiden ke 4 yang sering disebut Gus Dur ini  mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok.

Dengan berakhirnya Instruksi Presiden itu, warga etnis Tionghoa kembali bebas mengekspresikan diri dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Sejalan dengan pencabutan  Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat oleh Presiden kedua RI H.M.Suharto, Presiden Gus Dur langsung memberikan kebebasan kepada etnis Tionghoa merayakan kepercayaan mereka. Yaitu pada tahun 2001, dengan mengelurkan Surat Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Sesuai peraturan itu, hanya warga beretnis Tionghoa saja yang diperbolehkan merayakan Imlek dan merasakan hari libur. Sementara, warga etnis lainnya tetap menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa.

Waktu terus berjalan, Kebebasan ekspresi perayaan Imlek dan Cap Go Meh bagi masyarakat Tionghoa ini juga dilengkapi dengan adanya Keppres itu bernomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002, yang saat itu Indonesia dipimpin oleh Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Putri.

Presiden Megawati inilah yang kemudian mengeluarkan Keppres bernomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang berisikan  Imlek atau Tahun Baru Cina sebagai hari libur nasional.

Nama kedua Tokoh Nasional  inilah pemimpin yang amat berjasa menghidupkan lagi tradisi perayaan Imlek dan berbagai tradisi Tionghoa.

Sebagai informasi saat Orde lama dimana masa kepemimpinan Presiden RI Pertama Soekarno, etnis Tionghoa dibebaskan untuk merayakan Imlek di muka umum, bahkan Hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional kala itu.

Lalu di era Orde Baru yaitu saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto, nuansa keceriaan dan kebebasan menyambut perayaan Imlek menjadi hal yang diharamkan di Indonesia.

Pelarangan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok. Keluarnya peraturan itu menandakan berhentinya kebebasan warga Tionghoa merayakan Imlek di muka umum. Tak ada lagi suasana gegap gempita perayaan Imlek di Indonesia.

Soeharto melarang warganya untuk merayakan Imlek di muka umum. Tak ada ornamen serba merah yang menghiasai sudut kota. Perayaan Imlek hanya boleh dirayakan di dalam rumah saja.

Perayaan Imlek di Indonesia kala itu seolah tak pernah ada, hari raya Imlek yang menjadi hari libur nasional dihapus. Bahkan, ritual ibadah pemeluk agama Khonghucu yang sarat etnis Tionghoa pun dibatasi, harus dilakukan secara tertutup perorangan.

Kebijakan itu berlangsung selama masa Soeharto selama hampir 32 tahun. Selama itu pula warga Tionghoa harus hidup dalam persembunyian saat Imlek tiba. Angin Segar Era Reformasi Lengsernya Soeharto pada pada 1998 menandakan berakhirnya rezim Orde Baru.

Era reformasi menjadi tonggak bangkitnya era kebebasan berekspresi. Di mana, etnis Tionghoa mulai mendapatkan perannya kembali setelah sekian lama terbelenggu. Angin segar itu dimulai dimasa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada tahun 2000  dan hingga sekarang ini. (Luska)

author

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *